Teruntuk Negaraku

Salamku untukmu, Negaraku.

Bagaimana kabarmu? Apakah hari ini lebih baik dari hari sebelumnya yang telah engkau lalui?

Negaraku, ingin ku sapa dirimu beberapa tahun ke depan, dan mengajakmu bercerita tentang hari ini. Hal yang sama pun ingin kulakukan bila aku telah hidup berpuluh-puluh tahun sebelum hari ini. Tapi yang kubisa hanya berandai-andai dan kemungkinannya hanyalah kubisa bertanya padamu tentang dirimu di masa depan.

Bila kubertemu denganmu di masa depan, aku ingin mengajakmu bercerita tentang hari ini. Aku hidup hari ini, mungkin jika dihitung dari umurku, sudah berlalu beberapa periode pemimpin negara ini, sayangnya, baru di umur ini aku baru belajar mengerti tentang dirimu. Lantas kenapa aku baru bertanya ?

Negaraku, kulihat dirimu dari sudut pandangku selalu indah dengan keberagamannya. Tapi akhir-akhir ini aku resah dengan adanya keberagaman ini. Aku lelah mendengar perdebatan tentang perbedaan yang mengatasnamakan dirimu. Benarkah mereka mewakili apa yang kau rasa sebenarnya? Jika iya, lalu kenapa yang mereka bawa hanya berita duka ?

Dari apa yang kupelajari, ketika dihadapkan pada sebuah pilihan, aku akan membandingkan yang satu dengan yang lainnya. Akan kuambil pilihan yang satu, lalu kuteliti dengan cermat. Kucatat satu persatu kelebihannya jika kupilih pilihan yang satu ini. Begitu berikutnya kuteliti satu per satu hingga pembandingnya habis. Hingga timbulah pada kesimpulan mana yang lebih baik untuk kupilih dari sekian pilihan yang ada, yaitu yang paling banyak memiliki sisi baiknya untukku jika kupilih.

Analoginya, aku pergi ke sebuah toko untuk membeli baju. Dari sekian banyak pilihan, ada dua yang menarik perhatianku. Kuambil keduanya untuk kuteliti, mana yang akan kubeli. Kulihat baju yang satu,yang kusuka darinya adalah motif bunga berwarna merah muda di atas kain putih dengan detail daun-daun hijau muda, warna kesukaanku. Sedangkan yang satu lagi berupa kemeja berdetail kancing kayu berwarna coklat yang menurutku akan cocok bila kupadu padankan dengan rok dan sepatu yang kumiliki di rumah. Dengan pertimbangan-pertimbangan kondisional, jika aku memilih apa akan jadi apa, aku memilih satu diantaranya yg menurutku lebih baik.

Sederhana sekali prinsip ini. Lantas kenapa yang terjadi saat ini adalah negasinya ?

Bagaimana jika saat aku memilih baju yang akan kupakai dari menimbang keburukannya ? Baju pertama tidak memiliki kancing seperti baju kedua, baju kedua tidak bermotif bunga yang kusuka dan baju pertama tidak bisa kupakai bersama rok yang jika kubeli baju kedua dapat kupakai bersama. Pada akhirnya aku akan memilih satu di antaranya juga, tapi yang berbeda disini adalah kesimpulan yang membuatku membelinya. Aku membandingkan satu dan lainnya, lalu memilih yg menurutku buruknya lebih sedikit. Jadi ketika memakai baju tersebut yang kuingat hanyalah keburukannya, yang membuatku memilihnya.

Jika memang diharuskan untuk memilih, dan ada cara memilih dengan membandingkan kebaikannya, lantas kenapa lebih memilih cara dengan menimbang keburukannya?

Sayangnya, kasusku saat ini, saat aku akan membeli baju, aku dihadapkan pada dua orang pramuniaga, yang satu memegang merk A dan satu merupakan pramuniaga merk B. Akan lebih baik bagiku saat kedua pramuniaga ini menyajikan padaku kebaikan produk yang dipegangnya. Namun kenyataanya, yang mereka suguhkan adalah saling menjatuhkan produk saingannya. Memperlihatkan keburukan satu sama lainnya. Hingga fokusku pun teralihkan , dari yang tadinya ingin menilai sisi baiknya lalu kubandingkan, menjadi menilai sisi buruknya lalu kupilih yang tidak lebih buruk.

Negaraku, begitulah aku saat ini. Pintaku sederhana. Hanya untuk bercerita tentangku hari ini, pada dirimu di masa mendatang. Karna dirimu di masa depan, adalah citra dari apa yang kupilih saat ini. Kuharap dapat bertemu denganmu beberapa tahun ke depan, lalu menyapamu seperti hari ini. Bagaimana kabarmu ? Lebih baikkah? Kuharap kau selalu baik, karena inginku selalu yang terbaik untukmu.

Salam.